Rabu, 30 Maret 2011

Kesenian Kubro

APA ITU KUBRO SISWO?
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya. Di setiap daerah tidak hanya memilki satu kebudayaan saja, tetapi bisa beragam. Dari yang banyak di kenal oleh seluruh masyarakat Indonesia sampai yang hanya di kenali oleh masyarakat di daerahnya saja. Kali ini kita akan membahas salah satu kebudayaan di daerah jawa tengah khususnya daerah magelang yaitu kesenian Tari Kubro Siswo. Apa yang anda ketahui tentang tari Kubro Siswo?
Kubro Siswo adalah kesenian tradisional yang berlatar belakang penyebaran islam di Pulau Jawa. Secara bahasa kubro berarti besar dan siswo berarti siswa atau murid. Sehingga dapat di artikan murid-murid Tuhan yang diimplementasikan dalam pertunjukan yang selalu menjunjung kebesaran Tuhan. Kubro Siswo merupakan singkatan dari Kesenian Ubahing Badan lan Rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa), yang bermakna meningkatkan manusia khususnya umat islam agar mereka selalu hidup seimbang antara keperluan dunia dan akhirat.
Fungsi awal tarian ini adalah untuk menyebarkan agama islam di Pulau Jawa. Namun, tari kubro siswa sering di kaitkan dengan sebuah cerita, yaitu cerita seorang kyai yang bernama Ki Garang Serang. Ia adalah seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang mengembara di daerah Pegunungan manoreh untuk menyebarkan agama islam. Ceritanya ia memasuki sebuah hutan yang di huni oleh banyak binatang buas. Saat hutan itu terbakar, terjadi pertentangan antara Ki Garang Serang dengan sekelompok binatang buas. Dengan kesaktiannya, binatang-binatang itu dapat ditundukkan oleh Ki Garang inilah sedikit cerita yang berkaitan dengan Tari Kubro Siswo.
Kesenian Kubro Siswo ini ditarikan secara masal sekitar 25 orang atau mungkin lebih dan biasanya semua penarinya dalah laki-laki. Tari ini ditampilkan kurang lebih dengan durasi 5 jam, dengan musik yang hampir mirip atau bahkan mirip dengan lagu perjuangan dan ada juga musik qasidahan. Akan tetapi liriknya diubah dengan lirik yang lebih islami. Alat musik yang digunakan antara lain 3 buah dodok, jedor dan gendang.
Jika di amati, tari kubro siswo merupkan akulturasi budaya jawa, islam dan kolonial. Itu dapat dilihat dari dandanannya yang seperti tentara jaman keraton, tetapi dari pinggang ke bawah mengenakan dandanan seperti pemain bola. Di dalamnya pun harus ada seorang kapten yana memimpin tarian dan selalu membawa peluit. Inilah yang menjadi gaya tarik tarian tersebut.
Selain tarian dan kostumnya, atraksi-atraksi yang menabjubkan juga mrnjadi daya tarik tarian tersebut. Antara lain permainan bola api, tubuh yang disetrika, mengupas kelapa dengan gigi, naik tangga yang anak tangganya terbuat dari beberapa berang(istilah jawanya bendho), adegan perang, dan yang lebih menarik ada adegan kesurupan(istilah jawanya ndadi).
Adegan kesurupan merupakan gambaran peperangan antara Ki Garang Serang dengan binatang-binatang Pegunungan Manoreh. Hanya saja dalam tarian kubro siswo binatang-binatang tersebut digantikan oleh pemain yang menggunakan kostum hewan. Dengan lecutan pecut, bau kemenyan dan setelah bunga tujuh rupa disiramkan ke para pemain, maka para pemain akan mulai kesurupan dan mulai menari.
Untuk menyembuhkan para pemain, maka pawang akan memaksa para penari yang kesurupan untuk mendekati bendhe atau gengang. Dan setelah doa dipanjatkan, maka para penari akan pingsan dan setelah sadar mereka akan sembuh. Setelah itu, selesailah permainannya.
Kubro Siswo taruan khas daerah Magelang. Konon, tari ini berasal dari daerah sekitar Candi Mendut. Sejak tahun 1965, tari ini sudah ada di Borobudur dan sekitarnya. Tentang kapan dan di mana terciptanya tarian ini belum di ketahui secara pasti.

KESENIAN KUBRO SISWA MAMPU MENINGKATKAN RASA NASIONALISME ANAK BANGSA
Selain untuk menciptakan sebuah hiburan, kesenian Kubo Siswo mampu berperan penting dalam menciptakan rasa persatuan dan nasionalisme para pemuda di wilayahnya. Sebagai contoh dapat dilihat dariperkumpulan pemuda penari Kubro Siswo di Dusun Honggosari.
            Dengan sarana perkumpulan tersebut para pemuda akan lebih berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Kenapa? Menghibur masyarakat tentu saja akan mendapat gaji bukan? Gajinya pun pasti lumayan untuk kehidupan sehari-hari bahkan bisa lebih untuk kebutuhan lain. Namun berbeda untuk para pemuda ini. Mereka berlatih giat,semangat dan tanpa lelah bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk kepentingan umum. Setiap mereka mendapat penggilan untuk menari dan mendapat upah,upah tersebut akan dimasukkan ke kas masjid dan dusun. Mereka sama sekali tidak pernah mengambil sepeserpun uang tersebut selain untuk kepentingan kemajuan kampungnya tersebut. Yang masuk ke kas masjid untuk membangun masjid dan yang masuk ke kas desa untuk membangun desa.
            Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rasa nasionalisme pera pemuda Dusun Honggosari sangat besar. Mereka senggup dan tanpa pamrih mencari uang untuk kepentingan kampungnya.
            Selain itu, dengan sarana kesenian tersebut baik para pemuda-pemudi atau para remaja Dusun Honggosari rutin melaksanakan pertemuan dalam rangka pengajian Al-Quran. Kegiatan tersebut selain bertujuan untuk silahturahmi adalah untuk memperkuan rasa persatuan antar sesama pemuda dan remaja. Begitu juga untuk manumbuhkan rasa tenggang rasa dan meningkatkan keimanan.

METAMORFOSIS KESENIAN TARI KUBRO SISWO
            Jika saat ini anda tidak pernah atau jarang melihat kesenian ini bukan berarati sudah luntur atau hilang, melainkan sudah terjadi metamorfosis pada kesenian ini. Saat ini bukan tari Kubro Siswa yang berkembang, akan tetapi justru Dayakan yang hampir seluruh tarian dan kagunya mirip dengan Kubro Siswo. Ternyata dapat di bilang bahwa kesenian ini memang sudah terjadi metamorfosis menjadi Dayakan, walaupun gerakannya sudah dibuat lebih sederhana. Begitupun gerakannya lebih energic dan keras.
            Selain itu, dari segi kostum juga sudah dirubah menjadi ala Suku Dayak Kalimantan. Hanya saja untuk kostum ini lebih meriah karena memakai pakaian yang berwarna lebih meriah. Tidak ketinggalan yang dipakai di kepala, topi yang dibuat dengan bulu yang berwarna-warni membuat kesenian itu lebih menarik dibanding dengan Kubro Siswo.
            Yang tak berubah dari kesenian tersebut adalah adekan kesurupan(ndadi). Dalam kesenian Dayakan ini, adegan tersebut tidak dihilangkan. Karena walau bagaimanapun juga, adegan itulah yang menjadi daya tarik khusus kesenian tersebut.

Dayakan

Dayakan sebenarnya merupakan istilah bagi sekelompok wong alasan, yaitu suku pedalaman yang belum mengenal dunia luar. Istilah ini secara salah kaprah memang mengacu kepada suku Dayak Kalimantan.
Tapi dayakan yang kita bahas ini bukan dayakan suku pedalaman,tapi adalah suatu kesenian asal magelang yang berupa tarian khas yang diiringi dengan musik yang khas pula,para penari memakai pakaian dan accesoris yang menyerupai orang indian (pakaian rumbai dan tutup kepala dari bulu unggas)

Penggunaan bulu-buluan dalam asesoris pakaian barangkali yang menjadikan kesenian jenis ini disebut sebagai dayakan, karena memang orang Dayak sering juga memakai bulu elang ataupun burung tontong untuk perhiasan diri. Atau barangkali pengetahuan orang kampung mengenai nama-nama suku di dunia baru mengenal sebatas suku Dayak sebagai suku di luar suku Jawa. Atau bisa jadi karena pengucapan dayakan lebih enak didengar daripada kata indianan, atau indiaan. Atau bahkan mungkin rasa fanatisme dan melu handarbeni, serta rasa toleransi budaya sebagai sesama putra-putri bertanah air Indonesia.

Dayakan bisa diperkirakan merupakan pengembangan dari kesenian kobra siswa. Dilihat dari kemiripan ubo rambe gamelan utama yang digunakan, seperti bedug/drum, dan bende nampak sekali kesamaannya. Ditinjau dari lagu pengiring yang dinyanyikanpun ada kemiripannya dimana banyak diperdengarkan lagu-lagu bertemakan dakwah, di samping lagu-lagu nasional, mocopatan, dan campur sari modern.

Hanya saja memang terdapat sedikit modifikasi dalam hal formasi dan tata cara berbaris yang lebih dinamis dan tanpa pakem yang kaku seperti dalam kobra. Penambahan pengiring seperti organ, siter atau kecapi semakin menambah dinamisasi seni dayakan. Namun satu yang pasti dapat dilihat secara kasat mata, ya di perbedaan kostum itu tadi.

DayakanTidak hanya sampai di situ, saat inipun sudah berkembang nama varian dari seni dayakan, seperti nama topeng ireng, dayakan grasakan dan lainnya. Untuk topeng ireng memang tak berbeda dengan dayakan klasik, hanya saja seni merias muka, dan kostum lebih ngejreng. Mereka kadang mengenakan mahkota bulu imitasi. Adapun dayakan grasakan lebih merupakan kreasi baru dengan memanfaatkan tumbuhan sekitar sebagai kostum, seperti daun kluwih, dan pakis-pakisan. Jadi bisa dibilang lebih natural dan alamiah. Kesamaan kesemua varian dayakan yaitu pengenaan klinthing di sekujur kaki para penari. Ini katanya tidak bisa ditawar-tawar.
Saat ini kesenian dayakan tidak hanya berkembang di daerah Blondho dan Paremono sebagai daerah pionir saja. Bisa dibilang hampir di setiap sudut kecamatan yang tersebar di wilayah Kabupaten Magelang memiliki paguyuban dayakan. Sebut saja Borobudur, Pakis, atau Ngablak, bahkan Dukun adalah beberapa kecamatan yang memiliki banyak paguyuban. Intinya semakin luas masyarakat yang merasa handarbeni kesenian satu ini.

Di samping ditanggap untuk acara hajatan semisal pernikahan, atau sunatan, seni dayakan sering juga dipentaskan untuk acara perayaan seperti merti desa, tujuh belasan, karnaval, sampai pasang mustoko mesjid. Semoga ke depan seni dayakan bisa lebih ngrembaka dan berkembang sehingga bisa menjadi ikon bagi Kabupaten Magelang, atau bahkan mampu nyundul langit menjadi salah satu warisan budaya bangsa bahkan dunia.

TARI GAMBYONG

TARI GAMBYONG,




Ciri khas kultur budaya Jawa adalah kuatnya sistem hirarki. Dalam soal bahasa misalnya banyak dijumpai mekanisme linguistik yang dikonstruk untuk stratifikasi sosial tertentu.Begitu juga denga tari. Tidak semua tari di Jawa mencerminkan egalitarianisme. Ada tari yang khusus untuk kalangan bangsawan dan kerajaan dan ada pula tari yang khsusus untuk rakyat kecil. Hal ini karena terdesign dari mainstream budaya Jawa yang terbagi ke dalam dua struktur mayor yaitu kebudayaan besar atau kebudayaan tinggi dan budaya kecil atau kebudayaan rendah. Masing-masing struktur budaya ini merefleksikan background sosio-kultural masing-masing. Budaya besar ini merepresentasikan masyarakat elit yang berada di kuil-kuil dan istana-istana, sementara budaya kecil hidup dan berkembang dalam kawulo alit yang berada di pinggiran dan pedesaan. Meminjam istilah Robert Reidfield bahwa kebudayaan besar merupakan pola kebudayaan dari peradaban kota, sementara kebudayaan kecil adalah pola kebudayaan rendah atau pedesaan.
Karena berangkat dari komunitas masyarakat yang berbeda, maka kedua kebudayaan Jawa di atas secara otomatis juga mempunyai ciri yang beda bahkan kontras. Termasuk tari, keduanya mempunyai keunikan-keunikan tersendiri. Untuk tari yang masuk dalam kamus masyarakat elit perkotaan dan istana lebih menonjolkan sifat-sifat nilai alus (halus, lembut), regu (pendiam), anteng (tenang) dan jatmika (selalu sopan). Jenis tari-tari yang masuk ke dalam kategori ini seperti tari bedhaya, srimpi dan beksan. Ini berbeda dengan tari-tari yang masuk dalam daftar kebudayaan pinggiran atau masyarakat desa. Tari-tari jenis ini dicirikan dengan sifatnya yang kasar, brangasan, energik, yang semua itu mencerminkan karakter atau watak masyarakat kecil.
Tari gambyong adalah tari yang muncul di ranah pinggiran masyarakat Jawa tetapi istimewanya ia mampu menembus wilayah sentral kerajaan Jawa. Ia merupakan produk kebudayaan wong cilik yang diangkat menjadi kebudayaannya para bangsawan Jawa. Sehingga tari Ganbyong, yang awal mulanya berstatus sebagai tradisi kecil, maka pada perkembangannya menjadi bagian tradisi besar.
Seluk beluk tari gambyong ini secara mendalam bisa kita telurusuri dalam bukunya Sri Rochana Widyastutieningrum  yang berjudul Sejarah Tari Gambyong. Dalam buku itu Sri Rochana mengemukakan bahwa tari gambyong mulai digunakan dalam Serat Centhini yang ditulis pada abad XVVIII. Akan tetapi diperkirakan tari gambyong ini merupakan perkembangan tari tledhek atau tayub. Inilah yang menunjukkan bahwa tari Gambyong adalah tari yang lahir dari rahim masyarakat pinggiran. Karena tayub atau ledhek adalah cermin kebudayaan masyarakat bawah.
Tari tayub sendiri, dalam Serat Sastramirada disebutkan telah dikenal sejak zaman kerajaan Jenggala (sekitar abad ke XII), sedangkan tari tledhek dikenal sejak zaman Demak (abad XV), yang disebut dengan tledhek mengamen, yang dipertunjukkan dengan iringan rebana dan kendang sastra di awali dengan vocal.
Istilah Gambyong diambil dari nama seorang penari tledhek. Penari yang bernama Gambyong ini hidup ini pada zaman susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820). Lebih jauh menurut Sudibyo ZH, bahwa tentang adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara, sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.

Masa perkembangan



Tari Gambyong mulai berkembang di era susuhunan paku Buwana IX (1861-1893) atas jasa K.R.M.T Wreksadiningrat. Tari tersebut diperkenalkan kepada umum dan ditarikan oleh seorang Waranggana (pesindhen). Karena sudah beralih ke struktur masyarakat bangsawan, maka tari ini mengalami modifikasi yang membedakan dengan bentuknya yang semula. Gerak-gerik tari ini yang awalnya begitu kasar mulai diperhalus. Hal ini terjadi, khususnya, ketika tari Gambyong muncul sebagai Tari gambyong pareano yang diciptakan oleh Ny Bei Montoraras pada tahun 1950. Sejak ini, tari gambyong mengalami perubahan yang drastis seperti susunan tari, iringan tari, rias dan busananya.
Selain bentuknya yang berubah fungsinya juga mulai berubah. Pada saat bertransformasi menjadi Pareanom ini, tari gambyong yang awalnya hanya difungsikan untuk hiburan atau tontonan, maka kemudian beralih fungsi menjadi tari untuk menyambut tamu-tamu besar. Tari Gambyong sering ditampilkan di Mangkunegaran pada zaman penjajahan Jepang, untuk menjamu para tentara Jepang yang datang di mangkunegaran.
Dalam perkembangan selanjutnya, tari gambyong ini juga mampu merangsang lahirnya bentukbentuk baru tari Gambyong yang lain, yang dikonstruksi oleh penyusun tari yang berbeda-beda. Seperti ada tari gambyong Pangkur yang disusun oleh Soemardjo Hardjoprasanto pada tahun 1962, kemudian tari gambyong Gambirsawit yang disusun oleh S.Ngaliman pada tahun 1970, tari gambyong, dan tari gambyong Pancerana pada tahun 1981.
Selain susunan gerak dan fungsinya, perkembangan tari gambyong juga terdapat pada intensifn kegiatan masyarakat yang menampilkan tari gambyong seperti pada acara perayaan, resepsi pernikahan, pembukaan, peresmian, penajmauan tamu dan pada kegiatan lomba dan festival. Perkembangan ini juga ditandai dengan membengkaknya jumlah penari, karena seringkali tari Gambyong ditampilkan secara massal.
Hal yang menyebabkan tari gambyong bisa berkembang pesat dan diminati oleh masyarakat luas di antaranya adalah bentuk estetis tari ini yang menarik. Ia mengandung unsur-insur ketrampilan, keluwesan, kekenesan dan kelincahan seorang wanita. Geraknya lincah dan cenderung erotis. Nilai estetis ini terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme, khususnya antara gerak dan irama kendang. Estetisme tari Gambyong akan muncul apabila penarinya menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan sempurna, sehingga melahoirkan gerak tari yang sensual dan erotis. Untuk mencapai ungkapan itu, maka dibutuhkan para penari yang memenuhi satndar jogged Mataram dan Hasta Swanda. Dengan demikian diduga kuat, ungkapan erotis-sensual Tari Gambyong inilah yang menjadi daya tarik di masyarakat Jawa sehingga mudah berekembang. Selain itu juga dipengaruhi oleh sifat-sifatnya yang njawani, fleksibel dan kondisional.
Kalau ditilik lagi pada awal mula kelahirannya yang berasal dari tari tayub atau tari teledhek, sebenarnya hampir sama dengan tari ronggeng, lengger atau kethuk tilu, yang katanya untuk pembangkit birahi dan terkesan erotis. Atau mungkin, kalau untuk sekarang, dengan membandingkan gerak energiknya dan kevulgaran sisi erotica dan seksualita, tari gambyong ini hampir sama dengan goyang ngebor.

TARI JAIPONG

Tari Jaipong

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan. Sebagai tarian pergaulan, tari Jaipong berhasil dikembangkan oleh Seniman Sunda menjadi tarian yang memasyarakat dan sangat digemari oleh masyarakat Jawa Barat (khususnya), bahkan populer sampai di luar Jawa Barat.

MENYEBUT Jaipongan sesungguhnya tak hanya akan mengingatkan orang pada sejenis tari tradisi Sunda yang atraktif dengan gerak yang dinamis. Tangan, bahu, dan pinggul selalu menjadi bagian dominan dalam pola gerak yang lincah, diiringi oleh pukulan kendang. Terutama pada penari perempuan, seluruhnya itu selalu dibarengi dengan senyum manis dan kerlingan mata. Inilah sejenis tarian pergaulan dalam tradisi tari Sunda yang muncul pada akhir tahun 1970-an yang sampai hari ini popularitasnya masih hidup di tengah masyarakat.

Jumat, 25 Maret 2011

KESENIAN KETOPRAK




Yogyakarta, Ketoprak sebagai seni tradisi rakyat Yogyakarta menanti lonceng kematian karena terpinggirkan oleh penontonnya sendiri. Seiring munculnya stasiun-stasiun televisi (TV) swasta yang berorientasi industri dan kapitalisme, minat publik lebih tersedot untuk menyaksikan tayangan dangdut ketimbang ketoprak.Dalam sebuah diskusi di Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sabtu (20/7), penggiat seni tradisi, Bondan Nusantara menilai, nasib ketoprak tak ada bedanya dengan seni tradisi lainnya, seperti jathilan, angguk, ndolalak, badui.

"Semuanya gagal bertarung di tengah dahsyatnya gempuran tayangan TV swasta, termasuk berbagai seni tradisi di wilayah Tanah Air," kata Bondan. Misalnya, wayang kulit di Surakarta dan Yogya, ludruk di daerah Jawa Timur, kentrung di Banyuwagi, jemblung di Purworejo dan Banyumas, serta sinrilik di Sulawesi Selatan.

Dipandu dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, Dr C Bakdi Soemanto, Bondan, yang aktif sebagai sutradara kelompok ketoprak "DMB" (Dekonstruksi Makna Beku) 2002, menilai kesenian rakyat yang tumbuh dari masyarakat komunal agraris, terpinggirkan ke habitat semula. Parahnya, masyarakat pinggiran yang tadinya guyub dengan seni tradisi berciri sederhana, akrab, dan egaliter, tersihir pula untuk menyukai estetika "baru" produk TV swasta.

"Lebih celaka lagi, TVRI (Televisi Republik Indonesia-Red) yang dulu menyediakan ruang bagi kesenian rakyat, mulai berkemas pula mengikuti langkah stasiun TV swasta. Dengan alasan menyandang status perusahaan umum, TVRI ikut berbisnis dan takluk pada kekuatan modal dari luar," ujar Bondan.

Bondan tidak menafikkan beberapa jenis kesenian rakyat yang dimodifikasi stasiun TV swasta seperti ketoprak humor, ludruk glamor, ludruk kirun, dan wayang humor. Namun dia menilai, tayangan semacam itu bukan buah kecerdasan para pelaku kesenian rakyat. Itu hanya produk para pemodal untuk meraup keuntungan.

Peminat ketoprak

Tentang menyusutnya minat penggemar ketoprak di TV, Bondan mengutip sebuah riset dari kelompok studi Realino mengenai tanggapan pemirsa terhadap tayangan "ketoprak sayembara" di TVRI Yogyakarta. Sekitar tahun 1994-1995, acara yang berdurasi sekitar 50 menit itu masih mampu menerima 800 ribu kartu pos dari pemirsa. Taruhlah rata-rata pengirim kartu pos mengirim empat kartu, berarti ada sekitar 200 ribu penonton acara itu.

Dua tahun terakhir, kartu pos yang masuk menyusut tajam menjadi 26 ribu. Jika rata-rata penonton mengirim empat kartu, berarti tinggal 6.500 orang penggemarnya.

"Kenyataan itu bertolak belakang dengan kondisi tahun 1970-an," kata Bondan. Menurutnya, tahun 1970-an, sekitar 50 kelompok ketoprak tumbuh subur di Yogyakarta. Karena diminati publik, mereka pentas tobong (berkeliling) dari kampung ke kampung. Situasi itu didukung oleh TVRI yang memberi ruang lumayan bagi kesenian rakyat. Tayangan ketoprak di TVRI Yogyakarta bersinergi dengan maraknya pertunjukan ketoprak di panggung-panggung rakyat.

Namun, Bondan dan Bakdi tak sepenuhnya melihat TV swasta sebagai biang utama kepunahan seni tradisi. Kesalahan utama terletak pada kegagapan pekerja seni. Mereka gagap dan tidak kreatif menarik kembali hasrat publik yang hilang. Fenomena itu bermula tahun 1990-an ketika terjadi loncatan teknologi informasi dan industrilisasi. Pekerja seni tradisi tidak siap menghadapi tantangan zaman, di mana minat publik beralih ke tayangan yang estetikanya lebih menarik.

Apalagi, kata Bakdi, TV sedemikian mudahnya ditonton oleh publik. Tayangannya bisa dinikmati anak-anak sampai orangtua tanpa harus keluar dari rumah. "Bila perlu, sambil telanjang pun kita bisa nonton televisi. Bandingkan, kalau nonton acara panggung atau nonton bioskop. Kita harus berpakaian, keluar rumah, dan harus ada ongkos transportasi," papar Bakdi.

Dr Mark Hobart, warga Inggris yang 10 tahun terakhir meneliti TV dan kesenian di Bali, sependapat dengan Bondan dan Bakdi, bahwa dalam situasi sekarang, pekerja seni tradisi harus lebih kreatif. "Di tengah perubahan minat publik, pekerja seni tradisi harus lebih kreatif menyuguhkan pertunjukan yang komunikatif," kata Hobart yang menjabat Direktur The Balinese and Javanese Research Archive (BAJRA).

Bakdi menyarankan, lembaga-lembaga kesenian semacam Dewan Kesenian, dan organisasi nonpemerintah yang peduli pada seni tradisi memprioritaskan pembinaan pada kesenian rakyat yang terancam punah. "Yang difestivalkan sebaiknya kesenian yang terancam punah. Tidak usah terlalu memikirkan kesenian yang sudah relatif aman dan hidup," tandas Bakdi. (NAR)

wayang kulit

                                                ASAL USUL WAYANG KULIT
WAYANG salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Budaya wayang meliputi seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.  Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.  Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan. Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.  Asal Usul Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt. Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India. Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pe wayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indo nesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmur nya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga In dia, Walmiki. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 – 1160). Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata “mawa yang” dan `aringgit’ yang maksudnya adalah per tunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987. Kata `wayang’ diduga berasal dari kata `wewa yangan’, yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada. Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan. Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit. Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem. Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita w

jatilan


Jatilan adalah sebuah kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Jenis kesenian ini dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang ini dapat dijumpai di daerah-daerah Jawa.
Mengenai asal-usul atau awal mula dari kesenian jatilan ini, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan dengan rinci, hanya cerita-cerita verbal yang berkembang dari satu generasi kegenerasi lain. Dalam hal ini, ada beberapa versi tentang asal-usul atau awal mula adanya kesenian jatilan ini, diantaranya adalah sebagai berikut. Konon, jatilan ini yang menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari bambu ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Selain itu, ada versi lain yang menyebutkan, bahwa jatilan menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Adapun versi lain menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, raja Mataram untuk mengadapi pasukan Belanda.
Pagelaran kesenian ini dimulai dengan tari-tarian oleh para penari yang gerakannya sangat pelan tetapi kemudian gerakanya perlahan-lahan menjadi sangat dinamis mengikuti suara gamelan yang dimainkan. Gamelan untuk mengiringi jatilan ini cukup sederhana, hanya terdiri dari drum, kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Lagu-lagu yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta, namun ada juga yang menyanyikan lagu-lagu lain. Setelah sekian lama, para penari kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti rancaknya suara gamelan yang dimainkan.
Di samping para penari dan para pemain gamelan, dalam pagelaran jatilan pasti ada pawang roh yaitu orang yang bisa “mengendalikan”roh-roh halus yang merasuki para penari. Pawang dalam setiap pertunjukan jatilan ini adalah orang yang paling penting karena berperan sebagai pengendali sekaligus pengatur lancarnya pertunjukan dan menjamin keselamatan para pemainnya. Tugas lain dari pawang adalah menyadarkan atau mengeluarkan roh halus yang merasuki penari jika dirasa sudah cukup lama atau roh yang merasukinya telah menjadi sulit untuk dikendalikan.
Selain melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti suara gamelan pengiring, para penari itu juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Di antaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, menyayat lengan dengan golok bahkan lampu tanpa terluka atau merasakan sakit. Atraksi ini dipercaya merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan Jawa, dan merupakan aspek nonmiliter yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional jatilan ini seringkali juga mengandung unsur ritual karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang atau dukun melakukan suatu ritual yang intinya memohon ijin pada yang menguasai tempat tersebut yang biasanya ditempat terbuka supaya tidak menggangu jalannya pagelaran dan demi keselamatan para penarinya.
Pagelaran ini seperti pagelaran seni yang lainnya yang umumnya mempunyai suatu alur cerita. Jadi biasanya jatilan ini membawakan sebuah cerita yang disampaikan dalam bentuk tarian. Saat ini tidak banyak orang yang melihat pertunjukan seni dari sisi pakem bentuk kesenian tersebut melainkan dari sisi hiburannya, yang mereka lihat dan lebih mereka senangi adalah bagian dimana para pemain jathilan ini seperti kerasukan dan melakukan atraksi-atraksi berbahaya. Jadi masyarakat melihat Jathilan sebagai sebuah pertunjukan tempat pemain kerasukan. Bukan sebagai pertunjukan yang ingin bercerita tentang suatu kisah.
Kesenian jatilan yang dipertunjukan pada upacara adat Mbah Bergas diawali dengan kesenian warok-warokan, yaitu suatu bentuk kesenian yang berjudul Suminten Edan”. Lakon ini bercerita tentang Suromenggolo yang mempunyai anak bernama Cempluk. Suromenggolo mempunyai saudara seperguruan yang bernama Surobangsat. Surobangsat dan Suromenggolo telah lama tidak berjumpa sehingga ia mengunjungi Suromenggolo. Surobangsat mempunyai anak yang bernama Gentho. Surobangsat bermaksud menjodohkan Gentho dengan cempluk. Namun Suromenggolo tidak setuju. Kemudian terjadilah pertarungan antara keduanya. Surobangsat kalah setelah Suromenggolo mengeluarkan aji-aji pamungkas yang berupa kolor.
Setelah pertunjukan warok-warokan selesai, dilanjutkan dengan pertunjukan tarian oleh pasukan buto yang berjumlah sepuluh orang penari. Tarian ini sebagai kreasi atau sebagai perkembangan dari pertunjukkan jatilan untuk lebih memeriahkan pertunjukan jatilan dan menarik perhatian warga untuk menyaksikan. Gerakan-gerakan tarian ini sangat dinamis dan enerjik, gerakan yang serempak para penari membuat para penonton terpesona.
Aksesoris yang dipakai para penari antara lain gelang kaki, gelang tangan, dan topeng buto yang berwujud hewan-hewan seperti harimau, domba, dan singa. Gerakan yang sangat cepat dan lincah dari para penari membuat gelang kaki yang mereka pakai menimbulkan irama yang rancak.
Setelah pertunjukan tarian buto selesai kemudian dilanjutkan tarian jatilan. Jumlah penari jatilan ada sepuluh orang. Aksesoris yang digunakan antara lain gelang tangan, gelang kaki, ikat lengan, kalung (kace), mahkota (kupluk Panji), dan keris. Makna dari busana dan aksesoris yang digunakan adalah meniru tokoh Panji Asmarabangun, yaitu putra dari kerajaan Jenggala Manik. Dalam pertunjukan jatilan ini juga ada tiga pawang yang bertugas untuk mengatur, menjaga dan menjamin lancarnya pertunjukan, pawang-pawang ini juga bertugas untuk menyadarkan para penari yang kerasukan.
Dalam pertunjukan jatilan juga disediakan beberapa jenis sesaji antara lain pisang raja satu tangkep, jajanan pasar yang berupa makanan-makanan tradisional, tumpeng robyong yaitu tumpeng robyong yang dihias dengan kubis, dawet, beraneka macam kembang, dupa Cina dan menyan, ingkung klubuk (ayam hidup) yang digunakan sebagai sarana pemanggilan makhluk halus dan lain-lain.
Jatilan yang ditampilkan dalam upacara adat Mbah Bergas merupakan sajian dari Paguyuban Kesenian Kuda Lumping Putra Manunggal. Paguyuban ini didirikan sekitar pada tahun 1992. Para penari jatilan berserta penabuh gamelan kurang lebih berjumlah empat puluh orang. Mereka berlatih setiap satu bulan sekali pada pertengahan bulan (biasanya pada malam minggu). Cerita yang disajikan adalah mengadopsi dari Jatilan klasik, yaitu tentang cerita tokoh Kresna. Sedangkan pada warok-warokan selain menampilkan cerita “Suminten Edan” juga mengambil cerita dari babad-babad Jawa, antara lain perang Prabu Baka dengan para Buto.